umk-2018-dipastikan-hanya-naik-8-71

UMK 2018 Dipastikan Hanya Naik 8,71%

 

Memasuki tahun ketiga pasca berlakunya Peraturan Pemerintah RI No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) didasarkan pada tingkat inflasi secara nasional ditambah dengan pertumbuhan ekonomi  nasional, dan itu artinya hanya menjadi domain pemerintah pusat.

Dengan formula baku seperti itu, maka kenaikan upah minimum propinsi (UMP) dan kenaikan upah minimum kabupaten/kota (UMK) prosentase kenaikannya sama alias seragam secara nasional.  Sehingga daerah yang pertumbuhan ekonominya tinggi pun harus menyesuaikan atau mengacu pada tingkat pertumbuhan ekonomi secara nasional. Begitupun dengan tingkat inflasi, daerah yang inflasinya tinggipun tetap mengacu pada tingkat inflasi secara nasional.

Sehingga besaran kenaikan upah minimum dengan menggunakan formula baku seperti yang diatur dalam ketentuan Pasal 44 ayat (2) PP No. 78 Tahun 2015, untuk upah tahun depan yakni tahun 2018 sudah bisa dipastikan hanya naik sebesar 8,71%.

Kepastian mengenai besaran kenaikan UMK tahun depan sebesar 8,71% itu didasarkan pada Surat Kementerian Tenaga RI No. B.337/M.NAKER/PHIJSK-UPAH/X/2017 tertanggal 13 Oktober 2017 Perihal : Penyampaian Data Inflasi dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2017. Dimana dalam surat menteri tersebut, dengan bersumber dari Badan Pusat Statistik RI di jelaskan bahwa data inflasi nasional sebesar 3,72% dan Pertumbuhan Ekonomi/PDB sebesar 4,99%. Sehingga apabila inflasi sebesar (3,72%) ditambah dengan pertumbuhan ekonomi sebesar (4,99%), maka kalau ditambahkan menjadi 8,71%.

Apabila upah minimum yang ditetapkan gubernur tahun lalu hanya sebesar Rp. 2.376.558,39, maka dengan data inflasi dan partumbuhan ekonomi (PDB) sebesar 8,71%, kenaikannya kalau dirupiahkan atau di konversi dengan nilai tukar rupiah hanya naik sebesar Rp. 206.998. Atau kalau ditambahkan dengan upah minimum yang ada saat ini (Rp. 2.376.558 + Rp. 206.998), maka upah minimum untuk Kabupaten Sukabumi tahun depan atau tahun 2018 hanya Rp. 2.583.556.

Dengan kenaikan upah minimum menggunakan formula baku yang ada dalam Ketentuan pasal 4 ayat (2) PP 78 Tahun 2015 jelas sangat merugikan kaum buruh, karena kenaikan upah minimum tidak didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL), karena untuk komponen KHL itu sendiri di evaluasi pemerintah setiap 5 (lima) tahun sekali.

Kebijakan pengupahan yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah RI No. 78 Tahun 2015 tersebut jelas lebih mempunyai kecenderungan menggunakan sistem pengupahan yang sangat fleksibel.  Dimana dalam sistem pengupahan fleksibel, mengutamakan kenaikan upah dengan didasarkan pada kemampuan perusahaan, kondisi perekonomian  dan ‘performa kerja buruh.

Kebijakan pengupahan yang fleksibel itu kedengarannya enak dan masuk akal, dan biasanya jadi alibi oleh sebagian pengusaha dengan enaknya mengatakan perusahaan lagi merugi, order turun, produktivitas turun jadi gak bisa naik upahnya, nanti kalau perekonomian membaik dan perusahaan untung, para buruh akan secara otomatis ikut untung.

Tapi kenyataannya ketika perusahaan untung pun perusahaan tidak pernah mengaku untung bahkan ngakunya rugi terus. Itulah sisi ironi dari doktrin pengupahan yang flexible atau lebih tepat disebut dengan doktrin liberal.

Sementara pada sisi yang lain, pemerintah pun tidak bisa berbuat banyak ketika banyak perusahaan tidak patuh untuk menjalankan aturan, sehingga tidak sedikit buruh dilanggar hak normatifnya tanpa ada perlindungan dari pemerintah, seperti kelebihan jam kerja tidak dibayar upah lemburnya, tidak diikutsertakan menjadi peserta BPJS oleh perusahaan, seumur hidup jadi karyawan kontrak, belum lagi buruh yang upahnya dibayar dibawah upah minimum, dan sederet pelanggaran lain yang merugikan buruh.

Padahal upah minimum sendiri mestinya hanya diperuntukkan untuk mereka para buruh yang masa kerjanya dibawah 1 tahun, sementara yang diatas satu tahun harus dibayar diatas upah minimum. Tapi faktanya, banyak yang bekerja diatas 1 (satu) tahun bahkan belasan tahun upahnya masih dibayar upah minimum, itu terjadi khususnya di perusahaan-perusahaan yang pengusahanya kurang patuh terhadap hukum positif yang berlaku atau perusahaan yang belum ada PKB/Perjanjian Kerja Bersama, atau perusahaan yang belum ada serikat pekerjanya atau serikat pekerjanya masih ‘melempem’,

Badan pengawas ketenagakerjaan yang semestinya menjadi lembaga yang menjamin dan memastikan tegaknya hukum ketenagakerjaan, tapi faktanya malah tidak bisa berbuat banyak, dan kondisi itu semakin menambah deret penderitaan bagi kaum buruh.

Lalu bagaimana dengan peran dewan pengupahan?

Pasca terbitnya PP No. 78 Tahun 2015, peran dewan pengupahan khususnya di kabupaten/kota menjadi tidak relevan lagi dan kehilangan perannya dalam membahas dan merekomendasikan upah minimum.  Walaupun keberadaan dewan pengupahan juga bisa memberi efek manfaat kalau bisa melahirkan rekomendasi atau produk kebijakan diluar upah minum kabupaten/kota misalnya mengenai upah sektoral., dan rekomendasi kebijakan lain yang semakin bisa memperbaiki hubungan industrial dan peningkatan kesejahteraan bagi kaum buruh.

Kalau sebelum keluarnya PP 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, Dewan Pengupahan mempunyai peran untuk melakukan survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan membahas besaran kenaikan upah minimum sebagai bahan rekomendasi Bupati, tapi saat ini peran itu menjadi tidak relevan lagi karena KHL ditinjau setaip 5 (lima) tahun sekali, dan pembahasan untuk besaran kenaikan upah minimum pun menjadi tidak berguna lagi karena kenaikan upah minimum menggunakan formula baku dengan didasarkan pada data inflasi dan pertumbuhan ekonomi secara nasional.

Apalagi untuk Kabupaten Sukabumi sendiri, sampai saat ini Bupati Sukabumi belum mengeluarkan SK Pembentukan Dewan Pengupahan yang baru untuk menggantikan dewan pengupahan yang lama yang sudah habis masa baktinya.

Upah Sektoral Sebuah Keharusan

Ditengah kebijakan pengupahan melalui PP 78 Tahun 2015 yang mematok dan menyeragamkan prosentase kenaikan upah minimum secara nasional dengan menggunakan data inflasi dan pertumbuhan ekonomi/PDB, maka perjuangan upah sektoral menjadi salah satu alternative yang harus diwujudkan.

Bagi buruh, khususnya yang berafiliasi dengan SP TSK SPSI, tuntutan upah sektoral bukan sekedar untuk kepentingan kaum buruh yang menginginkan kenaikan diatas upah minimum kabupaten/UMK, tapi juga untuk mendorong iklim usaha dan iklim kerja yang sehat, sehingga bisa memberi ruang kepada perusahaan-perusahaan yang selama ini mengeluhkan keberatan tidak bisa berkompetisi untuk mendapatkan pekerja yang punya skill karena habis sama perusahan besar yang menawarkan nilai lebih kepada pekerja/buruhnya, dan juga untuk kepentingan para pengusaha yang selama ini mengeluh dan keberatan membayar upah buruhnya disamakan dengan perusahaan-perusahaan besar.

Berita Terbaru

sp-tsk-spsi-gsi-cikembar-bagikan-santunan

SP TSK SPSI GSI CIKEMBAR BAGIKAN SANTUNAN

Sebagai wujud keberpihakan serikat pekerja terhadap anggota dan terhad

slamet-widodo-mari-kita-tingkatkan-kepedulian-terhadap-sesama

Slamet Widodo : Mari Kita Tingkatkan Kepedulian Terhadap Sesama

Ketua PUK SP TSK SPSI PT. Pratama Abadi Industri – JX, Slamet Widodo

santunan-anak-yatim-dan-pembagian-takjil-oleh-sp-tsk-spsi-pt-pratama

Santunan Anak Yatim dan Pembagian Takjil oleh SP TSK SPSI PT. Pratama

Pimpinan Unit Kerja Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit – Ser

gsi-sukalarang-juara-sepakbola-antar-perusahaan

GSI SUKALARANG JUARA SEPAKBOLA ANTAR PERUSAHAAN

PUK SP TSK SPSI PT. GSI Sukalarang tampil sebagai Juara dalam Kejuaraa

Tentang Kami

F SP TSK SPSI atau Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia adalah organisasi yang bersifat bebas, mandiri, demokratis, professional dan bertanggungjawab serta tidak merupakan bagian dari organisasi sosial politik maupun ormas-ormas lain.
------------------------------
BERSERIKAT ITU MEMBERDAYAKAN DAN MEMBANGUN KESADARAN

Alamat

SP TSK SPSI Sukabumi

Komplek Ruko Gaya Ika Jl. Sekarwangi No 92 Kav. L Cibadak - Sukabumi - Jawa Barat - Indonesia 43351.

0266-6545956

contact@sptsk-sukabumi.org