sp-tsk-spsi-sukabumi-kenaikan-iuran-bpjs-kesehatan-harus-ditolak

SP TSK SPSI Sukabumi : Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Harus Ditolak

 

Rencana pemerintah yang akan menaikan iuran BPJS Kesehatan untuk seluruh segmen peserta BPJS Kesehatan mengundang reaksi atau penolakan dari berbagai pihak termasuk dari Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SP TSK SPSI) Kabupaten Sukabumi.

Dimana untuk peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang iurannya disubsidi atau ditanggung oleh pemerintah baik APBN/APBD, iurannya akan naik dari saat ini sebesar  Rp. 23.000,- menjadi Rp. 42.000 per jiwa. Kenaikan iuran juga akan diberlakukan kepada peserta Pekerja Penerima Upah Pemerintah (PPU-P), yang terdiri dari ASN/TNI/POLRI, semula besaran iuran adalah 5% dari gaji pokok dan tunjangan keluarga, dimana 3% ditanggung oleh Pemerintah dan 2% ditanggung oleh ASN/TNI/POLRI yang bersangkutan, diubah menjadi 5% dari gaji pokok, tunjangan keluarga, tunjangan jabatan atau tunjangan umum, tunjangan profesi, dan tunjangan kinerja atau tambahan penghasilan bagi PNS Daerah, dengan batas sebesar Rp12 juta, dimana 4% ditanggung oleh Pemerintah dan 1% ditanggung oleh ASN/TNI/POLRI yang bersangkutan.

Untuk para buruh yang masuk pada kategori Pekerja Penerima Upah Badan Usaha (PPU-BU), juga akan mengalami kenaikan dari besaran iuran semula  5% dari total upah dengan batas atas upah sebesar Rp 8 juta, dimana 4% ditanggung oleh Pemberi Kerja dan 1% ditanggung oleh Pekerja, diubah menjadi 5% dari total upah dengan batas atas upah sebesar Rp 12 juta, dimana 4% ditanggung oleh Pemberi Kerja dan 1% ditanggung oleh Pekerja.Walaupun dari sisi prosentase tidak mengalami kenaikan, tapi dengan peningkatan jumlah batas atas dan batas bawah tersebut jelas akan semakin membebani perusahaan dan pekerja atau buruh sendiri.

Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) / Peserta Mandiri akan mengalami kenaikan dengan rincian untuk  Kelas 3: naik dari Rp25.500 menjadi Rp42.000 per jiwa; Kelas 2: naik dari Rp51.000 menjadi Rp110.000 per jiwa; dan Kelas 1: naik dari Rp80.000 menjadi Rp160.000 per jiwa.

Menanggapi rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut, Ketua Serikat Pekerja Tekstil Sandnag dan Kulit – Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SP TSK SPSI) Kabupaten Sukabumi Moch. Popon, SH., dengan tegas menyatakan menolak terhadap rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang akan dilakukan oleh pemerintah tersebut.

"Yang namanya public service atau pelayanan publik itu, tarif baru bisa dinaikkan ketika kwalitas pelayanannya sudah baik, sementara pelayanan BPJS Kesehatan dirasa masih buruk dan banyak dikeluhkan", jelas Moch. Popon dengan nada ketus.

Menurut Popon, faktor-faktor yang dijadikan alasan pemerintah untuk menaikkan iuran sebagaimana yang sering diungkap ke publik yaitu karena besarnya tunggakan dan defisit itu lebih disebabkan oleh faktor internal pemerintah dan BPJS Kesehatan Sendiri.

Sebagaimana yang sering diungkap ke publik, besarnya tunggakan dan defisit sebagai alasan untuk menaikkan iuran merupakan alasan yang lebih disebabkan oleh ketidakberdayaan pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi secara makro, dan juga karena lemahnya tata kelola dari BPJS Kesehatan sendiri. Sehingga alasan yang diungkap ke publik itu merupakan alasan yang mempermalukan pemerintah sendiri dan BPJS Kesehatan yang tidak bisa memperbaiki tata kelola, apalagi ditengah kondisi ekonomi masyarakat yang kurang baik.

Alasan pemerintah dengan menjadikan besarnya defisit dan tunggakan sebagai alasan untuk menaikan iuran BPJS Kesehatan tidak lebih dari tindakan pengecut yang malas dan berpikiran pendek yang ditunjukkan oleh pemerintah sendiri dan menunjukkan ketidakprofesionalan dari BPJS Kesehatan sendiri sebangai badan penyelenggara jaminan sosial.

Mengatasi atau menekan besarnya tunggakan dan defisit dengan cara menaikkan iuran merupakan cara yang kontraproduktif dan tidak bisa diterima oleh akal sehat. Mestinya Pemerintah meminta BPJS Kesehatan untuk melakukan mitigasi dengan cermat kenapa tunggakan itu dari tahun ke tahun selalu mengalami kenaikan dan tidak bisa diselesaikan?

Menurut Ketua SP TSK SPSI Kabupaten Sukabumi, Moch. Popon setidaknya ada beberapa alasan atau faktor yang menjadi penyebab besarnya tunggakan dan defisit sebagaimana dijadikan alasan oleh pemerintah untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan.

MENURUNNYA DAYA BELI MASYARAKAT

Seperti diketahui bersama, 5 tahun terakhir ini tingkat pertumbuhan ekonomi rendah dan itu pasti berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat. Penurunan daya beli itu jelas akan semakin membebani ekonomi masyarakat, termasuk juga kesulitan untuk membayar iuran BPJS Kesehatan bagi mereka yang sudah terdaftar atau mendaftarkan diri menjadi peserta mandiri atau PBPU (Peserta Bukan Penerima Upah).

Lemahnya daya beli masyarakat juga bisa dilihat dari 221 juta peserta JKN-KIS, hampir separuhnya dibiayai oleh pemerintah. Tepatnya, ada 96,8 juta penduduk miskin dan tidak mampu yang iuran JKN-KIS-nya ditanggung negara lewat APBN dan 37,3 juta penduduk yang ditanggung oleh APBD.

Sehingga upaya untuk menutupi atau mengatasi tunggakan iuran peserta BPJS Kesehatan dengan cara menaikkan besaran bukanlah cara yang tepat, bahkan akan semakin menambah kesulitan ekonomi masyarakat yang pada gilirannya hanya akan menambah tunggakan peserta mandiri atau PBPU. Dan besarnya tunggakan yang harus ditutup oleh BPJS Kesehatan juga didalamnya termasuk beban pemerintah yang harus membayar peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) yang ditanggung oleh pemerintah, dan mengatasi ini pemerintah tidak bisa begitu saja mengalihkan tanggungjawab ke masyarakat dengan alasan semangat gotong royong. Itu jelas amanat konstitusi yang semestinya bisa dijalankan oleh pemerintah.

SISTEM PEMBIAYAAN KAPITASI PPK TINGKAT I TIDAK EFEKTIF

Besarnya defisit BPJS Kesehatan yang diakibatkan oleh besarnya tagihan dari rumah sakit, tidak lepas dari tidak efektifny sistem kapitasi dan optimalisasi pelayanan kesehatan pada tingkat pertama.

Faktanya pusat-pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama seperti puskesmas dan klinik kurang berjalan dengan efektif karena jumlah peserta yang ditampung terlalu banyak, sementara pada sisi yang lain fasilitas dan kwalitas layanan pada tingkat pertama tidak berjalan dengan baik.

Bahkan di Wilayah Kabupaten Sukabumi, untuk Peserta PPU (Pekerja Penerima Upah) ada kecenderungan  sangat kecil sekali prosentasenya yang menggunakan pelayanan kesehatan pada tingkat pertama ini. Disamping fasilitas yang terbatas, juga kwalitas pelayanan yang kurang memadai karena banyak sekali pekerja atau buruh yang berobat ke klinik dokternya tidak sedang berada di tempat, sehingga harus pulang lagi dan ujung-ujungnya menjadi malas berobat ke klinik-klinik yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan. Apalagi untuk puskesmas-puskesmas yang ada di wilayah Kabupaten Sukabumi jam buka pelayanan-nya terbatas dengan tenaga medis yang terbatas juga.

Kondisi tersebut jelas berdampak pada besarnya kewajiban BPJS Kesehatan untuk membayar dana kapitasi ke klinik-klinik dan puskesmas  tersebut sesuai dengan quota atau jumlah peserta yang terdaftar, sementara manfaat pelayanan kesehatan-nya tidak digunakan atau dimanfaatkan oleh peserta PPU (Pekerja Penerima Upah).

Tidak maksimalnya pelayanan kesehatan pada tingkat pertama tersebut jelas berdampak pada besarnya tagihan dari rumah sakit – sakit yang ada, karena klinik-klinik atau puskesmas itu yang semestinya salah satu layanannya untuk menekan jumlah orang yang sakit melalui program pelayanan kesehatan promotif preventif tapi tidak dijalankan dengan baik.

MASIH BANYAK MASYARAKAT DAN PERUSAHAAN YANG BELUM MENJADI PESERTA BPJS KESEHATAN

Masih tingginya tunggakan dan defisit yang harus ditanggung oleh pemerintah tidak lepas dari belum maksimalnya kepesertaan BPJS Kesehatan itu sendiri karena masih banyak masyarakat dan perusahaan yang belum mendaftarkan pekerja atau buruhnya menjadi peserta BPJS Kesehatan.

Potensi kepesertaan tapi tidak digarap serius oleh BPJS Kesehatan. Khusus untuk perusahaan yang belum mendaftarkan pekerja/buruhnya menjadi peserta BPJS Kesehatan, mungkin untuk perusahaan atau badan usaha yang belum sama sekali mendaftarkan itu jumlahnya kecil. Tapi untuk perusahaan yang belum mendaftarkan seluruh pekerja/burunya atau baru mendaftarkan sebagian pekerja/buruhnya menjadi peserta BPJS Kesehatan itu untuk di wilayah Kabupaten Sukabumi saja jumlahnya sangat banyak. dan sekali lagi ini kurang digarap secara serius oleh BPJS Kesehatan.

SOSIALISASI ONLINE MASSIF, TAPI SOSIALISASI TATAP MUKA MASIH KURANG

Memang diakui untuk sosialiasi yang bersifat digital melalui media sosial atau media lain yang bersifat digital atau online itu sudah digarap maksimal oleh BPJS Kesehatan. Sampai-sampai ada joke untuk urusan medsos orang BPJS Kesehatan itu jagonya.

Tapi BPJS Kesehatan lupa bahwa walaupun masyarakat secara dominan sudah memliki atau menjadi pengguna handphone atau bahkan smartphone tapi pengetahuan atau knowledge serta yang terbiasa untuk menggunakan transaksi online atau menggunakan aplikasi online atau menggunakannya untuk mendapatkan informasi online itu baru didominasi oleh generasi milenial. Sementara untuk masyarakat dengan usia diatas 40 atau 45 tahun itu prosentasenya masih belum signifikan.

Dan hal ini juga bisa menjadi penyebab tingginya tunggakan peserta. Jadi peserta menunggak itu selain karena disebabkan tidak punya uang atau daya beli turun, juga bisa disebabkan oleh karena belum terbiasa membayar via bank atau via pembayaran online beraplikasi.

BPJS Kesehatan terlalu ke-pede-an menggunakan sosialisasi dengan fasilitas digital, sementara sosialisasi yang bersentuhan langsung masyarakat kurang digarap secara maksimal. Mestinya BPJS Kesehatan paham bahwa perubahan budaya atau perubahan perilaku konsumen atau peserta atau calon peserta tidak bisa dirubah secara ekstrim dengan menggunakan fasilitas digital.

MENTALTAS BPJS KESEHATAN MASIH BERMENTAL BIROKRAT ERA ASKES

Selain disebabkan oleh kondisi makro ekonomi dan penurunan daya beli masyarakat, besarnya tunggakan atau defisit BPJS Kesehatan juga disebabkan oleh faktor internal pengelola dari BPJS Kesehatan itu sendiri.

Sampai saat ini mentalitas pengelola masih menyisakan mentalitas birokrat seperti pada saat mengelola ASKES. Ambil contoh di Kabupaten Sukabumi, untuk perusahaan-perusahaan yang belum mendaftarkan pekerja atau buruhnya menjadi peserta BPJS Kesehatan itu selain disebabkan kurangnya kesadaran dari buruh atau pekerja dan pengusahanya, juga disebabkan karena minimnya sosialisasi dan peran pengawasan atau penindakan dari BPJS Kesehatan itu sendiri atau dengan kata lain karena disebabkan oleh faktor internal BPJS Kesehatan sendiri.

Sikap malas, kurang kreatif, bersikap menunggu atau pasif  atau berdiam diri di belakang meja atau bermental kasir yang hanya menunggu orang datang untuk mendaftar atau melakukan pembayaran klaim jelas sudah ketinggalan jaman. Karena budaya atau pola kerja serta tantangan BPJS Kesehatan dengan ASKES jelas sangat jauh sangat berbeda.

Berdasarkan beberapa faktor yang disebutkan diatas, tidak ada alasan yang cukup bagi pemerintah untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Menurut Moch. Popon selaku Ketua SP TSK SPSI Kabupaten Sukabumi tunggakan dan defisit BPJS Kesehatan yang dijadikan alasan untuk menaikkan jumlah iuran itu masih bisa disiasati dengan meningkatkan profesionalisme dan kwalitas sumber daya pengelola BPJS Kesehatan itu sendiri untuk tidak bermalas-malasan, punya jiwa kreatif dan meningkatkan pola koordinasi yang baik, yang saat ini masih di rasa kurang, melakukan sosialisasi yang efektif, memperbaiki sistem kapitasi pada pelayanan kesehatan tingkat pertama dan rumah sakit, perbaikan kwalitas layanan kesehatan pada semua tingkatan serta mengoptimalkan rekruitment kepesertaan baik dari calon peserta mandiri maupun perusahaan yang saat ini masih banyak belum mendaftarkan pekerja/buruhnya menjadi peserta BPJS Kesehatan.

"‘Daripada menyibukkan diri untuk menaikkan jumlah iuran BPJS Kesehatan lebih baik pemerintah fokus untuk meningkatkan daya beli masyarakat atau memperbaiki kondisi ekonomi dan juga meningkat profesionalisme penyelenggara atau Sumber Daya Manusia penyelenggara atau BPJS Kesehatan sehingga lebih kreatif, tidak bersifat menunggu, meningkatkan kwalitas pelayanan kesehatan pada semua tingkatan dan meningkatkan agresifitas untuk melakukan rekruitment kepesertaan, memaksimalkan peran pengawasan dan penindakan serta sosialisasi yang efektif ", menurut Moch. Popon dengan tegas. 

                                                

Berita Terbaru

sp-tsk-spsi-gsi-cikembar-bagikan-santunan

SP TSK SPSI GSI CIKEMBAR BAGIKAN SANTUNAN

Sebagai wujud keberpihakan serikat pekerja terhadap anggota dan terhad

slamet-widodo-mari-kita-tingkatkan-kepedulian-terhadap-sesama

Slamet Widodo : Mari Kita Tingkatkan Kepedulian Terhadap Sesama

Ketua PUK SP TSK SPSI PT. Pratama Abadi Industri – JX, Slamet Widodo

santunan-anak-yatim-dan-pembagian-takjil-oleh-sp-tsk-spsi-pt-pratama

Santunan Anak Yatim dan Pembagian Takjil oleh SP TSK SPSI PT. Pratama

Pimpinan Unit Kerja Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit – Ser

gsi-sukalarang-juara-sepakbola-antar-perusahaan

GSI SUKALARANG JUARA SEPAKBOLA ANTAR PERUSAHAAN

PUK SP TSK SPSI PT. GSI Sukalarang tampil sebagai Juara dalam Kejuaraa

Tentang Kami

F SP TSK SPSI atau Federasi Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia adalah organisasi yang bersifat bebas, mandiri, demokratis, professional dan bertanggungjawab serta tidak merupakan bagian dari organisasi sosial politik maupun ormas-ormas lain.
------------------------------
BERSERIKAT ITU MEMBERDAYAKAN DAN MEMBANGUN KESADARAN

Alamat

SP TSK SPSI Sukabumi

Komplek Ruko Gaya Ika Jl. Sekarwangi No 92 Kav. L Cibadak - Sukabumi - Jawa Barat - Indonesia 43351.

0266-6545956

contact@sptsk-sukabumi.org